Dilemma sebuah Akreditasi Sekolah antara Harapan dan Kenyataan
Akreditasi
sekolah sebuah upaya atau program
peningkatan kualitas kinerja sekolah dan
pembinaan kemajuan sekolah secara berkelanjutan yang ujungnya perbaikan
kualitas pendidikan dimana kualitas pendidikan tidak akan diperoleh dari
sekolah yang kinerjanya buruk.
Sekolah merupakan lembaga dimana siswa dididik untuk
mendapatkan gemblengan, pembinaan, pelatihan serta berbagai aktifitas dalam
rangka membekali diri mereka baik lahir dan batinnya dengan pengetahuan,
keterampilan dan aktifitas pembelajaran yang
akan bermanfaat bagi siswa baik untuk sekarang dan masa yang akan datang.
Sebagai lembaga penting dalam peningkatan kualitas
sumber daya manusia Indonesia sebuah sekolah tentu perlu dicek, dievaluasi
serta diuji apakah dia bisa menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik.
Dalam akreditasi sekolah seluruh komponen sekolah termasuk
stake holder dinilai dalam arti bagaimana mereka berkontribusi untuk kemajuan
dan keberhasilan program-program pendidikan yang telah ditetapkan pemerintah.
Akreditasi akan berusaha mengklarifikasi dokumen yang ada serta meluruskan
kalau terjadi kesalahan dalam berbagai kegiatan di sekolah itu. Meskipun begitu
pentingnya akreditasi sebagaimana digambarkan diatas namun ada hal-hal yang
perlu dicermati dalam pelaksanaan kegiatan akreditasi sekolah.
Pertama:
Akreditasi sekolah jangan dilakukan hanya sebagai rutinitas tanpa membawa
perubahan kepada peningkatan kualitas sekolah. Hiruk pikuk kegiatan akreditasi jangan
hanya dijadikan sebagai rutinitas atau ceremonial yang berlangsung setiap 5
tahun sekali saja. Apa memang akreditasi itu harus begitu menyita waktu, tenaga
dan biaya. Banyak kejadian dimana sepertinya sekolah lebih fokus untuk
mensukseskan kegiatan akreditasi daripada memastikan siswa belajar di kelasnya.
Contoh kadang sekolah melakukan rapat
berkali-kali, menyiapkan dokumen, melengkapi sarana dan prasana yang belum lalu
karena sibuknya kadang waktu siswa untuk belajar terabaikan. Bahkan anehnya di
hari H nya yaitu pada saat assessor melihat langsung ke sekolah para assessor
sendiri memimpin rapat dan seperti tidak mempermasalahkan bagaimana siswa di
luar sekolah yang berseliweran atau main kesana kemari tanpa kegiatan belajar yang berarti.
Siswa-siswa terabaikan karena guru sedang rapat membahas akreditasi dan
ini tak cukup sehari. Dan beberapa hari sebelumnyapun para siswa tak belajar
karena guru mempersiapkan administrasi. Padahal pembiaran siswa satu atau dua jam
apalagi seharian tanpa suatu kegitan apapun adalah menyia-nyiakan waktu mereka
yang berharga disamping bisa berdampak kurang bagus kepada karakter siswa, yang
terkadang membutuhkan waktu berpuluh-puluh jam untuk memperbaikinya.
Apakah keadaan ini tidak terbaca oleh assessor.
Apakah assessor kurang mencermati bagaiman anak belajar, bagaimana anak
memperoleh nilai sebesar itu di raport
mereka. Dan bagaimana guru memberikan nilai sebesar itu kepada siswa-siswanya.
Sering terjadi kebiasaan buruk dimana untuk menutupi kinerja sekolah yang buruk
maka para guru dan diketahui kepala sekolah sebenarnya sengaja mengkatrol nilai
anak agar sesuai dengan KKM (kriteria ketuntasan Minimal) Sekolah negeri harus direkayasa
agar nilainya sesuai dengan sekolah SSN (Sekolah Standar Nasional ) adapun
bagaimana cara merekayasa atau bermain cantik tentu saja permainan katrol. Anehnya
para assessor sering pura-pura tidak tahun. Fakta yang sedikit aneh misal BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) telah
menetapkan standar ternyata dilapangan tidak sesuai, misalnya 1. kuota atau jumlah siswa perkelas, 2.
bagaimana Guru menetapkan KKM dan ke 3. bagaimana dengan kelulusan 100%
diperoleh. Sebenarnya secara sederhana para
assessor bisa melihat ada-hal-hal yang diabaikan dari kenyataan yang
sebenarnya. Gambaran ini barangkali
penting karena apalah artinya sertifikasi kalau dalam pelaksanaannya asal
asalan dan tidak berdampak pada kemajuan pendidikan.
Kedua,
akreditasu seharusnya memegang prinsip –prinsip keterbukaan atau transparansi,
kejujuran, keadilan serta keaslian serta keseriusan. Didaerah Banyak sekolah yang
mendapat nilai akreditasi dengan predikat A ( sangat memuaskan ) bahkan
sejumlah sekolah Negeri telah meraihnya dengan nilai hampir sempurna yaitu
seperti 98 atu 99 berarti tinggal 1 atau 2 poin untuk memperoleh nilai sempurna
yaitu 100. Sementara itu apakah para assessor bisa membaca kepalsuan yang ada
pada suatu unit pendidikan. Ya kalau asal laporan bagus dan dokumen ada itu tentu
tidak cukup sebenarnya perhatikan bagaimana budaya keseharian sekolah tersebut
bagaimana kedisiplinan anak dan gurunya bagaimana serta bisa memahami apakah
ada interfensi dari pihak lain biasanya Dinas Pendidikan ataupun Pihak PEMKOT
Agsuatu kemunduran yang besar dalam arti bagaimana mereka bisa memastikan bahwa
dokumen tiu palsu pendidikan di Indonesia, suatu pembodohan dan penghancuran karakter bangsa kedepan
tentunya.
Ketiga Ada kesan Akreditasi hanya pengecekan dokumen
dan visitasi sekolah belaka. Sering kegiatan akreditasi hanya dilakukan dalam 2
hari kunjungan assessor, lalau bagaimana gambaran kegiatan tiap harinya. Kalau
mereka hanya berpatokan kepada Banyaknya dokumen yang ada saja jelas tidak
tepat sebab dokumen ini sebenarnya bisa dipersiapkan jauh hari sebelumnya
bahkan secara mendadak. Sepertinya penyiapan
bukti fisik ujian kenaikan kelas, analisa soal, analisa materi
pelajaran, daftar nilai, absen guru dsb.
Kalau
para anggota DPR membiarkan hal ini terus terjadi pada instansi pendidikan maka
Sebuah
sistem pendidikan yang didesan tak bisa menciptakan guru dan kepala sekolah
yang idealis, jujur, transparan dalam arti yang sebenarnya, sebuah sistem yang sulit membuat pendidik
bisa jadi profesional. Karena sistem pendidikan tak bisa mendrive ke arah itu.
Hal ini terjadi karena masalah pokok untuk mencapai hal ini tidak diselesaikan
terlebih dahulu. Seperti bagaimana mungkin kepala sekolah atau pejabat dinas
pendidikan segan atau takut berhadapan dengan wartawan, LSM atau pejabat pemerintah diatasnya. Kalau mereka
tak melakukan kecurangan kenapa harus takut.
Bukankah semua itu sudah ada Undang –undangnya ada aturan mainnya ada
tata caranya, bahkan ada juklak dan
juknisnya. Dengan kondisi seperti sekarang penigkatan kualitas pendidikan sulit
diwujudkan. Patut disayangkan jika pemerintah bolak balik mengadalak pelatihan,
training, studi banding dll. Apabila pelaksana
atau aparat dilapangan kurang komitment dengan aturan yang sudah ditetapkan. Dan
tentu akan sulit berimbas kepada perbaikan kualitas pendidikan secara
signifikan kalau supra struktur berupa sisten yang ada seperti ini “rapuh “ damana
tak bisa menopang perubahan yang ada tak bisa mengimbangi kemajuan pendidikan
di negara lain.
0 komentar:
Posting Komentar